SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri film. (freepik)

Solopos.com, JAKARTA–Dunia perfilman Indonesia bangkit dan berkembang setelah sempat terpukul akibat penutupan gedung bioskop selama pandemi Covid-19. Industri film nasional terus bergerak, baik dari jumlah produksi, ragam cerita, maupun kualitas dan teknik visual yang dipakai.

Antusiasme masyarakat juga semakin tinggi untuk menyaksikan film karya sineas Indonesia, bahkan hingga mencapai angka lebih dari jutaan penonton. Perkembangan industri perfilman Indonesia yang cukup pesat ini, diharapkan dapat membangkitkan akselerasi industri perfilman Indonesia, serta berdampak pada perluasan penciptaan lapangan kerja dan menciptakan ekosistem perfilman Indonesia yang lebih baik lagi.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Pemerintah pun berupaya memberikan dukungan untuk kemajuan film di Tanah Air. Baru-baru ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) berkolaborasi dengan Bizhare dan Adhya Group menggelar kegiatan Finscoin – Film Investor Gathering dalam rangka meluncurkan Public Funding Expose untuk tiga proyek film Tanah Air.

Melalui siaran resminya, Minggu (7/5/2023), dalam acara yang berlangsung di Hotel Sari Pasific, Thamrin, Jakarta, tersebut Kemenparekraf berkolaborasi dengan Bizhare dan Adhya Pictures meresmikan peluncuran pendanaan untuk tiga produksi film yang dibuka melalui platform website www.bizhare.id dan aplikasi Bizhare, melalui skema urun dana.

Tiga produksi film garapan Adhya Pictures dengan 3 genre sekaligus itu yakni, Bolong/The Hole (horor) yang disutradarai Hanung Bramantyo, Tulang Belulang (drama/komedi) yang disutradarai Sammaria Sari Simanjuntak, dan Romeo Ingkar Janji (drama/romance) yang disutradarai Emil Heradi bersama aktor Jeremy Thomas sebagai creative director.

Direktur Akses Pembiayaan Kemenparekraf, Anggara Hayun Anujuprana, mengatakan acara tersebut bertujuan mengajak serta membuka kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat agar bisa aktif berpartisipasi sebagai investor dalam pembiayaan film lokal Indonesia, melalui platform Fintech Securities Crowdfunding (SCF) sebagai alternatif pembiayaan industri Film yang telah berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Melalui kesempatan ini saya mengajak Bapak/Ibu Calon Investor yang hadir marilah kita bersamasama untuk mendukung pembiayaan 3 proyek film tersebut melalui platform Fintech SCF sebagai bagian dari dukungan terhadap Industri Perfilman Indonesia,” ujar Hayun.

Ilustrasi layar bioskop jadwal bioskop hari ini
Ilustrasi layar bioskop. (Freepik.com)

Ketua Pokja Pembiayaan Teknologi Finansial dan Program Indonesia Spice Up the World Kemenparekraf, Indriani D. Laratu, dalam laporannya mengatakan dari empat film lokal Indonesia yang telah diluncurkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 24 Februari 2023 lalu, salah satu film berjudul Mantra Surugana dengan sutradara Dyan Sunu Prastowo telah berhasil mendapatkan pembiayaan dari masyarakat melalui platform SCF Bizhare sebesar Rp2,5 miliar hanya dalam waktu tiga hari.

“Alhamdulillah hanya dalam hitungan menit setelah Public Funding Expose dibuka melalui plartform Bizhare, telah tercatat preorder saham bernilai lebih dari Rp700 juta dari masyarakat dan kita doakan semoga akan terus bergerak naik dan bisa memenuhi pendanaan bagi tiga proyek film tersebut,” kata Indriani.

Dengan diselenggarakannya Launching Pendanaan Kedua untuk tiga proyek film tersebut, jugad iadakan program penawaran peluang investasi bagi loyal investor dari Bizhare. “Film merupakan bisnis yang sangat menarik sebagai pilihan investasi, karena potensi keuntungan investasinya bisa berkali-kali lipat, bergantung dari genre film, cerita, sutradara, produser dan antusiasme masyarakat akan film tersebut” tutur CEO Bizhare, Heinrich Vincent.

CEO Adhya Group, Ricky Wijaya, berharap melalui sinergitas dengan Bizhare dan Kemenparekraf dapat membuka kesempatan untuk masyarakat agar bisa berpartisipasi ke project film di Adhya Group.

Sebelumnya Adhya Group bersama Kathanika Pictures telah merilis berbagai film layar lebar seperti Gatotkaca, Death Knot, Keluarga Cemara 2, Ben & Jody hingga Mencuri Raden Saleh.

Sementara itu, dalam peluncuran Pembiayaan Proyek Film Perdana melalui Finscoin, di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (24/2/2023), terungkap pembiayaan yang akan diterima oleh empat film tersebut sebesar Rp50 miliar, di mana Rp40 miliar akan didanai oleh Adhya Group dan Rp10miliar akan didanai bersama-sama dengan masyarakat melalui aplikasi Bizhare.

Menparekraf Sandiaga Uno mengapresiasi Bizhare dan Adhya Group yang telah menjadi mitra Kemenparekraf dalam mendukung subsektor perfilman dalam negeri.  “Sudah saatnya kita menjadi destinasi perfilman dunia dan pencipta produk-produk ekonomi kreatif yang berkelas internasional,” ujar Sandiaga.

sandiaga uno konser coldplay indonesia
Sandiaga Uno. (Instagram @sandiuno)

Tercatat subsektor film, animasi dan video di tahun 2021 menyumbang Rp2,69 triliun pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf Rizki Handayani mengatakan pembiayaan menjadi salah satu hambatan yang kerap ditemukan para pelaku kreatif di subsektor film.

Meski saat ini permintaan pasar terhadap film lokal semakin meningkat, biaya untuk memproduksi sebuah film tidak sedikit, mulai dari biaya praproduksi, produksi, hingga pemasaran dan distribusi film.

“Untuk itu, kami di Kemenparekraf mencoba terus mendukung industri perfilman melalui akses pembiayaan alternatif yang dikenal dengan Finscoin. Semoga ini menjadi awal makin tumbuh dan berkembangnya perfilman Indonesia,” kata Kiki.

Masyarakat yang ingin berpartisipasi menjadi investor dalam program ini dapat mengunduh aplikasi Bizhare. Kemudian masyarakat memilih jenis film yang akan diinvestasikan. Laporan keuangan hingga laporan perkembangan bisnis juga telah tersaji di dalam aplikasi tersebut.

Mengutip berbagai sumber, produksi satu film layar lebar Indonesia dapat memakan biaya hingga puluhan miliar rupiah. Film Buya Hamka misalnya mencatatkan biaya produksi selama sembilan tahun Rp70 miliar. Angka itu sama dengan biaya produksi film Foxtrot Six. 

Selain itu film Trilogi Merdeka menghabiskan biaya produksi sebanyak Rp64 miliar yang merupakan gabungan dari tiga film yang bertemakan perang dan pahlawan nasional, yaitu Merdeka Putih 2009, Darah Garuda 2010, dan Hati Merdeka 2011. Film The Raid 2 yang dirilis pada 2014 menghabiskan biaya produksi hingga Rp63 miliar.

Falcon Pictures merogoh kocek Rp50 miliar untuk biaya produksi film Bumi Manusia dan Perburuan yang dirilis bersamaan pada 15 Agustus 2019. Sebuah angka yang fantastis mengingat biasanya biaya produksi film-film Falcon berkisar antara Rp5 miliar hingga Rp10 miliar.

film indonesia
Adegan film Bumi Manusia. (imdb.com)

Produser Falcon Pictures Frederica mengatakan angka tersebut memang layak dikucurkan untuk merayakan karya dan kiprah Pramoedya Ananta Toer dalam sejarah dan sastra Indonesia. “Bisa dibilang Rp50 miliar untuk dua film ini. Kami sudah tidak mikir untung-rugi, kami pikir tujuannya adalah untuk merayakan bulannya Pram,” jelasnya dilansir bisnis.com, beberapa waktu lalu.

Selain tantangan pembiayaan yang tinggi dalam berproduksi, industri perfilman Indonesua juga menghadapi tantangan lain seiring perkembangan teknologi dan perubahan zaman, seperti kehadiran platform daring yang menjadi alternatif medium tayang selain bioskop serta perubahan perilaku konsumen dalam hal ini penonton.



Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Paggaru, kepada Antara beberapa waktu lalu, mengatakan BPI menemukan banyak permasalahan yang memerlukan dialog bersama dengan sejumlah kementerian yang terkait industri film seperti Kemendikbudristek, Kemenparekraf, Kemenaker, Kemenkominfo, hingga Kemendagri.

Dia menguraikan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dianggap sudah tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan industri perfilman di masa sekarang. Ditambah lagi, belum adanya rencana induk perfilman nasional (RIPN) sebagaimana yang diamanahkan UU tersebut.

RIPN merupakan dokumen yang mencakup rencana jangka panjang hingga beberapa tahun ke depan dan akan menjadi penunjuk arah untuk semua pihak dan pengambil kebijakan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan perfilman dari pusat hingga ke daerah.

unawan mengibaratkan kondisi itu seperti sebuah kapal besar yang berlayar namun tidak memiliki nakhoda. Kalaupun ada nakhoda, kompas yang digunakan sudah rusak. Ekosistem perfilman nasional yang sudah tersedia terdiri dari banyak unsur, namun ketidakrelevanan UU Perfilman ditambah tanpa RIPN, membuat ekosistem ini tak memiliki arah.

“Kami merasa bahwa penting sekali untuk sesegera mungkin mengharmonisasi seluruh aturan atau UU yang ada, untuk mengganti UU yang sekarang atau UU Perfilman kita. Dan perlu adanya rancangan induk perfilman nasional. Ini yang saya maksud, kompasnya itu rusak, nggak ada kompas, arahnya mau ke mana,” kata dia.

Foto teaser The Raid 2: Berandal (hollywoodreporter.com)
Foto teaser The Raid 2: Berandal (hollywoodreporter.com)

Selain itu, ditemukan pula  adanya permasalahan pada ketenagakerjaan di industri perfilman. Gunawan pun mendesak agar Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk segera menerbitkan peraturan menteri terkait hubungan industrial.

“Sehingga kita jelas sebagai pekerja. Saya jelas, saya dibayar sekian, apa yang harus saya lakukan, tanggung jawab saya apa, hak saya apa. Itu diatur dalam hubungan industrial. Berapa jam saya harus bekerja. Begitupun dengan pengusahanya,” kata dia.

“Jadi semuanya terukur dan terekam dengan baik melalui kontrak kerja yang selama ini kontrak kerja kita sering kali diabaikan,” imbuh Gunawan.

Berbeda dengan industri lainnya, industri film memang akan menghadapi kesulitan jika mengikuti sistem ketenagakerjaan dengan maksimal delapan jam kerja. Akan tetapi, pembatasan jam kerja juga dinilai penting dengan mempertimbangkan kesejahteraan fisik dan psikis pekerja film.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), Linda Gozali, mengajak perusahaan film untuk menerapkan jaminan sosial termasuk BPJS Kesehatan. Beberapa pihak sudah menerapkannya pada saat pandemi berlangsung dan ia berharap penerapan jaminan sosial ini dapat terus dilanjutkan oleh industri.

Sederet permasalahan yang dihadapi industri perfilman tersebut membutuhkan solusi dan titik terang jika memang mengharapkan wajah perfilman nasional terus membaik hingga di masa mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya