SOLOPOS.COM - Garin Nugroho (Akhirul Anwar/JIBI/Harian Jogja)

Garin Nugroho (Akhirul Anwar/JIBI/Harian Jogja)

JOGJA — Pelaksanaan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2012 telah usai. Tetapi event tahunan yang telah berlangsung sebanyak 24 kali tersebut tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kota besar lain seperti Solo justru lebih baik dalam menampilkan festival seni budaya yang sama.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Sutradara ternama, Garin Nugroho menilai jika dibandingkan dengan kota lain, Jogja kalah jauh. Festival yang berlangsung pada 20 Juni – 5 Juli lalu tidak cukup menjadi representasi Jogja menanggung beban nasional dan internasional. “Untuk semangat tidak masalah, tetapi Jogja kehilangan strategi budaya,” katanya dalam diskusi Menyongsong Seperempat Abad Festival Kesenian Yogyakarta di Gedung DPRD DIY, Jumat (13/7/2012).

Strategi budaya yang hilang misalnya hubungan di luar perkembangan seni. Misalnya seni dengan pendidikan belum ada pemetaan. Seni dengan hari libur anak, seni dengan politik maupun seni dengan teknologi. Hubungannya dengan teknologi misalnya temuan robot mahasiswa UGM semestinya bisa disinergikan. Beberapa strategi ini hampir tidak pernah dipikirkan, sehingga dibutuhkan kemampuan bereaksi dan bertindak.

Garin juga menganggap Jogja terlalu kaya dengan peristiwa seni, sehari bisa sampai tiga kali. Sayangnya hal itu belum di-manage berdasarkan skala prioritas sebagai representasi Kota Jogja. Dalam hal ini dukungan pemerintah dibutuhkan dalam memberi ruang anggaran, kebijakan politik dan kebebasan seniman mengorganisir diri.

Urusan anggaran, Garin menilai politik merampok anggaran, sehingga di luar politik tidak terlihat khususnya kesenian. Contohnya, kesenian tidak berdasar kekuasaan sehingga anggarannya kecil bahkan dihapus pun tidak masalah. Hal itu terjadi karena seniman tidak pernah demonstrasi, lempar-lemparan dan sebagainya.

Oleh karena itu pada FKY ke 25 tahun depan harus bisa menjawab tantangan baru. Jogja tidak bisa hanya mengandalkan warisan seni budaya saja tetapi harus mampu kompetisi. Seniman berbakat banyak, tetapi sistem pemerintahannya harus berani menjadi pioneer. “Sudah saatnya Jogja mengritik dirinya sendiri, kalau memuji dirinya sendiri sudah banyak,” tutur Garin.

Pengamat FKY Suwarno Wisetrotomo menambahkan, sejak tahun 2000 pelaksanaan FKY sudah mulai tersisih dari masyarakat. Gaungnya tidak semeriah tahun 1990-an. Bahkan masyarakat tidak tahu jadwal FKY dan hanya tahu pembukaan dan penutupan. Hal ini disebabkan berbagai persoalan, seperti kepanitiaan dimana ketuanya tidak permanen.

FKY ke 25 tahun depan harusnya dipersiapkan dari sekarang. Harapannya panitia tidak grobyagan dalam persiapan sponsor, kegiatan, tema dan lainnya. Jika persiapan dilakukan lima bulan sebelum pelaksanaan, yang ada hanya ala kadarnya. “Persiapan satu tahun sebelumnya, bukan lima bulan. Kalau lima bulan sebelumnya kompetisi tidak ada, grubyag grubyug, tidak dirancang dengan baik,” kritik dosen Fakultas Seni Rupa & Program Pascasarjana ISI Jogja tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya