SOLOPOS.COM - Ilustrasi Festival Film Dokumenter Jawa Tengah In Frame (JIBI/Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tiga film dokumenter yang bercerita tentang budaya dan falsafah Jawa, diputar di Galeri Taman Budaya Surakarta (TBS), Jl. Ir Sutami, Solo, Sabtu (23/8/2014) malam. Pemutaran film tersebut sebagai apresiasi terhadap para sineas yang telah menggali adat dan falsafah Jawa melalui film yang mereka buat.

Ketiga film yang diputar adalah Ritual Rambut Gimbal karya Uut Iswahyudi, Di Balik Serat Centhini karya Novian Ananta Putra dan film Tak Mati Karena Ditanggap Fungsi oleh Ardi Perdana. Ratusan penonton dan penggemar film di Solo menonton ketiga film tersebut secara lesehan.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Film Ritual Rambut Gimbal bercerita tentang ritual pemotongan rambut gimbal sejumlah anak-anak di dataran tinggi Dieng. Konon ritual pemotongan rambut gimbal pada anak-anak itu dilakukan untuk melestarikan adat di Dieng. Film tersebut memaparkan mengapa ritual tersebut dilaksanakan oleh masyarakat Dieng. Pasalnya bila tidak dipotong, anak akan mengalami sakit-sakitan. Sebaliknya, anak-anak yang rambut gimbalnya telah dipotong justru akan mendatangkan rezeki bagi anak tersebut. Film tersebut menampilkan sejumlah wawancara dengan pemuka adat di Dieng serta pelaksanaan ritual pemotongan rambut gimbal yang digelar setahun sekali itu.

Film kedua, Di Balik Serat Centhini, berkisah tentang kitab adiluhung yang ditulis oleh tiga pujangga Jawa abad ke-19 atas inisiatif dari raja Pakubuwono V. Film yang bercerita tentang kitab ensiklopedia jawa setebal 4.000 halaman dan 12 jilid itu mengeksplorasi kitab Serat Centhini melalui wawancara sejumlah ilmuwan yang pernah meneliti kitab tersebut. Film itu berkisah tentang pembuktian bahwa isi Serat Centhini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Misalnya, ilmu tentang pangan, ilmu sejarah, ilmu arsitek dan lainnya yang masih sangat relevan dengan zaman sekarang.

Sementara itu, film ketiga Tak Mati Karena Ditanggap Fungsi, menggambarkan tentang eksistensi kesenian wayang orang Balekambang, Solo, dan Wahyu Budoyo di Pati, di tengah-tengah budaya modern. Film ini bercerita tentang pemikiran sejumlah pegiat kesenian tradisional itu di tengah-tengah gerusan zaman.

Koordiantor Festival Film Dokumenter 2014, Hanindawan, mengatakan festival itu adalah bagian dari apresiasi TBJT terhadap karya seni film dari para sineas muda Indonesia. “Film dokumenter itu kan film yang mengusung realita sosial. Sedangkan tema Jawa Tengah in Frame, ini diambil karena film-film yang diputar itu fokus ciri khas budaya Jawa. Jadi festival ini adalah bentuk apresiasi terhadap para sutradara dokumenter yang telah menggali kekayaan budaya Jawa melalui karya film,” terang Hanindawan saat ditemui Solopos.com di Galeri TBS, Sabtu malam.

Pihaknya berharap dengan adanya pemutaran film bertema budaya Jawa, semakin mengenalkan kepada masyarakat bahwa Jawa sangat kaya dengan budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya