Entertainment
Kamis, 17 November 2011 - 20:08 WIB

Gamelan duplikasi Kiai Gora ditabuh setelah puluhan tahun dipajang

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

KEMBALI DITABUH--Turis asing melihat kelompok karawitan SMK 8 Solo yang membawakan gendhing jawa menggunakan gamelan koleksi Museum Radya Pustaka Solo, Kamis (17/11/2011). Gamelan ageng buatan Sosodiningrat IV yang merupakan patih PB X tersebut kembali ditabuh setelah sekitar 40 tahun tidak dimainkan. (Foto: Espos/Burhan Aris Nugraha)

Butuh waktu lebih 10 menit bagi para siswa SMKN 8 Solo mempersiapkan seperangkat Gamelan Ageng koleksi Museum Radya Pustaka Solo sebelum akhirnya pentas klenengan dimulai, Kamis (17/11/2011). Lebih dari 30 tahun tidak ditabuh, membuat perangkat gamelan yasan KRA Sosrodiningrat IV, pepatih dalem Sri Susunan Pakubuwono X itu perlu sedikit sentuhan khusus sebelum dimainkan kembali.

Advertisement

Sekitar pukul 10.30 WIB akhirnya perangkat Gamelan Ageng terdiri dari bonang, slenthem, gong, kendang, demong, rebab, gender, saron dan siter, ditabuh. Suaranya yang lembut, berharmonisasi dengan apik antar sesama alat gamelan itu.

Menghadirkan nuansa sakral kejawen namun menentramkan, bagi siapa saja yang menyimaknya. Tidak terkecuali, Michaela Kusrini, perempuan warga negara Austria yang kebetulan berkunjung ke Museum siang itu.

Ditemani sang suami, Subagio Rasidi Kusrini, dan keponakannya, Rikiti, 19, Michaela tampak menikmati nada-nada magis Gamelan Ageng. Para penabuh gamelan yang merupakan siswa dan keluarga SMKN 8 Solo juga menjadi perhatiannya. Utamanya Nurul dan Dewi, dua sinden muda yang mengenakan kebaya warna hijau, lengkap dengan sanggul menjadi center sekelompok pemain gamelan itu. Tapi sayang acara untuk kali pertama dan direncanakan akan digelar rutin tiap bulan itu tanpa sosialisasi memadai.

Advertisement

“Benar-benar musik yang sangat berbeda dari musik populer saat ini. Saya sangat suka musik gamelan, begitu kalem, tenang, menentramkan hati,” aku Michaela kepada Solopos.com.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Komite Museum Radya Pustaka, Sanyoto, menjelaskan terobosan memainkan gamelan yang merupakan tedhakan atau tiruan gamelan Kiai Gora dari Kasunanan Surakarta dalam rangka melestarikan budaya. Menurut dia sebuah benda peninggalan budaya jangan hanya menjadi pajangan saja, melainkan lebih baik difungsikan sebagai media pendidikan langsung bagi generasi penerus. “Gamelan merupakan simbol persatuan bangsa. Kendati berbeda bentuk dan bunyi antara satu alat gamelan dengan alat gamelan lainnya, namun bisa menghasilkan suara sangat anggun bila dimainkan,” paparnya.

Menurut Sanyoto, ada tiga gamelan koleksi Museum Radya Pustaka yakni perangkat Gamelan Ageng, Gamelan Genderan dan Gamelan Ricikan berupa bilah dan pencon. Gamelan-gamelan tersebut sudah puluhan tahun tidak dimainkan. Padahal kualitas fisik dan suaranya masih sangat terjaga. “Gamelan ini dulunya digunakan untuk latihan karawitan masyarakat. Gamelan Ageng menempati Museum sejak tahun 1913, sedangkan Kiai Gora disimpan di Keraton Kasunanan Surakarta,” imbuh dia.

Advertisement

(kur)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif