SOLOPOS.COM - S. Harsono medampingi proses rekaman penyanyi campursari di studio rekaman miliknya di Dusun Pedaan, RT 005, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Selasa (26/1/2016). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Kesenian campursari didukung adanya studio rekaman tanpa nama di Sragen.

Solopos.com, SRAGEN – Studio rekaman yang berada di Dusun Pedaan, RT 005, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Sragen, menjadi andalan para seniman campursari sekelas Didi Kempot, Sholeh Akbar, Sunyahni, Manthous, Endah Saraswati, dan para seniman campursari se-Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Studio rekaman itu seluas 5 x 9 meter2 yang terbagi tiga ruangan. Bilik perekaman suara hanya seluas 2,5 x 2,5 meter2. Meski tidak memiliki nama, studio itu selalu ramai dikunjungi para seniman campursari untuk rekaman lagu tiap harinya.

”Orang pernah menyebutnya Studio Ngisor Pring karena dulu memang berada di bawah pohon bambu. Tapi, sekarang pohon bambu itu sudah ditebang sehingga tidak ada lagi istilah Studio Ngisor Pring. Sampai sekarang, studio ini memang tidak punya nama,” kata pemilik studio yang juga seniman pencipta ratusan lagu campursari asal Sragen, S. Harsono, Selasa (26/1).

Nama S. Harsono barangkali sudah tidak asing di telingan pencinta musik tradisional campursari. Nama dia mulai dikenal orang setelah menciptakan lagu campursari berjudul Aduh Segere dan Aja Ngalamun yang sempat menggebrak panggung hiburan pada 1984 silam.

Nama dia semakin dikenal sejak menciptakan lagu Di Malam Minggu yang dipopulerkan Pujiatun pada 1996. ”Lagu Di Malam Minggu terjual hingga 500.000 kopi pada masa itu. Berkat lagu itu, saya dihadiahi mobil Katana,” kenang Harsono.

Harsono menganggap tidak ada yang istimewa dari studio kecil yang dibangun di belakang rumahnya. Dia sendiri merasa heran mengapa studio miliknya itu menjadi rujukan para seniman campursari terkemuka.

“Itu masih menjadi tanda tanya saya. Studionya biasa saja, tapi tiap hari selalu ada saja seniman campursari yang rekaman. Bahkan mereka rela mengantre lama,” ujar Harsono.

Kualitas hasil rekaman memang selalu dinomorsatukan oleh Harsono. Untuk menghasilkan kualitas suara yang maksimal, rekaman terhadap permainan alat musik tradisional tidak dilakukan secara bersamaan. Permainan alat musik tradisional seperti kendang, kendar, rebab, gender, slentem, bonang, demeng direkam secara bergantian.

”Alat-alat musik itu tidak direkam secara bersamaan semata demi kualitas suara yang bagus. Vokalis adalah pengisi suara paling akhir. Memang prosesnya ribet dan menuntut kesabaran yang tinggi. Tapi, itu proses yang harus dijalani supaya kualitas hasil rekaman bisa maksimal,” terang pria bertubuh subur itu.

Ketua Paguyuban Pimpinan Campursari dan Orgen Tunggal Karawitan Sukowati (Pinastika), Sriyanto, menyebut S. Harsono merupakan ikon campursari di Sragen.

“Dia adalah ikon dan master campursari di Bumi Sukowati. Berkat sentuhan tangannya, sejumlah lagu campursari digarap dengan apik. Tak heran, banyak penyanyi campursari yang memilih rekaman di studio dia,” ujar Sriyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya