SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bumi kulitku langit atiku
Srengenge mripatku lintang susuku
Gunung irungku mbulan mbun-mbunanku
Segara pipiku kawah puserku
Udan keringetku endhut sesukerku
Naraka waduku lawanging naraka cangkemku
Lawanging swarga kupingku
Tan pinisah jagad lan aku

“Cik, cik, cik, ”
Suara gemericik air dan gambaran erupsi kawah merapi mengiringi lantunan narasi puisi Mantra Tolak Bala karya Sindhunata itu. Suara gemericik air memudar, narasi puisi yang dibacakan oleh pesinden asal Solo, Sruti Respati, itu perlahan digantikan suara gamelan yang bersahutan. Suara gamelan jelas terdengar, sangat rancak dan merdu, dibarengi dengan gambaran sebuah kelompok  tengah menabuh gamelan yang kemudian berubah menjadi gambaran  tempat penyimpanan satu set gamelan yang luluh lantah karena tertimbun lahar.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Kisah itu, adalah gambaran ketika erupsi Gunung Merapi turut menghancurkan simbol kesenian berupa satu set gamelan di Dusun Srunen, Sleman Yogyakarta. Daerah yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari puncak merapi. Di sana, gamelan Srunen yang biasanya dimainkan oleh masyarakat desa sekitar turut rusak. Menjadi bagian dari amukan lahar dingin Merapi 2011 silam.

Film dokumenter berjudul Bukit Bernyawa yang disutradari oleh Steve Pillar Setiabudi ini tak mengambil durasi waktu panjang, hanya sekitar  17 menit. Tak melulu membahas tentang gamelan Srunen, Bukit Bernyawa yang pengambilan gambarnya dilakukan pada 2011 lalu juga membahas kondisi masyarakat Dusun Srunen sebelum dan sesudah erupsi merapi.

Menyoroti kisah keluarga Pak Marmo yang justru tak panik saat Merapi mengeluarkan lahar, film yang juga menjadi nominator Zebra Film Poetry International di Berlin, Jerman ini ingin mengangkat sisi lain dari erupsi merapi. Bahwa bagi masyarakt sekitar Srunen, erupsi Gunung Merapi bukanlan bencana besar seperti yang dikhawatirkan sebagian orang. Masyarakat Srunen menganggap Merapi adalah Bukit Bernyawa yang memang sewaktu-waktu bisa bangun dan bergerak.

“Menurut mereka [masyarakat Dusun Srunen], itu adalah cara alam bekerja dan masyarakat harus siap dengan kondisi apapun saat bukit bernyawa bekerja,” ucap  Fanny Chotimah, Executiv Produser film tersebut saat ditemui Solopos.com, sebelum pemutaran Bukit Bernyawa dalam  ScrenDocs! Reguler #Oktober, Senin (22/10/2012) malam, di Gedung Kesenian Solo (GKS).

Tak hanya Bukit Bernyawa, acara yang diselenggarakan In-Docs, Ford Foundation, Gedung Kesenian Solo, Tumpi Readhouse, Matton Production dan SPEK-Ham malam itu juga memutar film dokumenter tentang erupsi merapi berjudul Bayi Fitri karya Kisno Ardi. Koordinator Screndocs! Reguler #Oktober, Joko Narimo, saat ditemui wartawan di sela-sela acara mengatakan pemutaran film dokumenter bakal rutin diadakan sebulan sekali dengan tema berbeda hingga Maret 2012 mendatang.

“Kami berupaya mengembangkan wawasan masyarakat untuk mengapresiasi film dokumenter, serta menjadikan film dokumenter sebagai alat untuk membahas isu-isu yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan meluncurkan program screenDocs!,” urainya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya