SOLOPOS.COM - Ari Wulu saat berada di music library Gayam 16, Senin (17/2/2015). (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Komunitas Jogja untuk Gayam 16 menempati rumah baru yang dilengkapi dengan perpustakaan.

Harianjogja.com, JOGJA-Setelah tiga kali berpindah-pindah lokasi sejak berdiri 1998 lalu, komunitas Gayam 16 akhirnya resmi menempati ‘rumah’ barunya. Uniknya, di ‘rumah’ barunya itu, kini Gayam 16 memiliki perpustakaan musik sendiri. Seperti apa ceritanya?

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Rumah berarsitektur kolonial itu perlahan dijejali oleh tamu-tamu yang datang secara bergantian. Ishati Sahida, pemilik rumah itu, dengan sabar dan ramah menyalami satu per satu dari tamu-tamu itu. Senin (16/2/2015) malam itu, ia dan Komunitas Gayam 16 yang dikelolanya resmi menempati bangunan baru. Malam itu, untuk pertama kalinya ia membuka kembali pintu Gayam 16, mengundang semua warga Jogja yang ingin turut belajar apapun tentang kesenian, khususnya musik gamelan.

Setidaknya, di lokasi yang baru, Gayam 16 sepertinya kian serius untuk meneruskan komitmen legenda musik gamelan asal Yogyakarta (alm) Sapto Rahardjo. Kini, dengan dipimpin oleh putra sulungnya, Ishari Sahida, atau yang biasa akrab disapa Ari Wulu, komunitas tersebut kembali ditata.

Sebagai langkah awal, pada ruang depan bangunan yang beralamatkan di kawasan Mantrigawen tersebut telah dibangunnya sebuah perpustakaan. Inilah yang membedakan bangunan baru Gayam 16 tersebut dengan bangunan-bangunan sebelumnya.

“Saya menyebutnya dengan music library [perpustakaan musik],” ucapnya saat ditemui di sela-sela acara openhouse sekretariat Gayam 16, Senin (16/2/2015) malam.

Di ruangan berukuran 3 x 4 meter tersebut memang tertata dengan rapi ribuan cakram padat (CD), kaset pita, dan kaset pita 2 inchi. Cakram padat dan kaset-kaset tersebut merupakan rekam jejak perjalanan karir bermusik ayahnya. Mulai dari karya tunggal, konser, maupun kolaborasi dengan sejumlah nama musisi tenar lainnya. Tak hanya kaset dan CD baru saja yang dipajangnya, melainkan juga kaset-kaset yang sudah berumur lebih dari 45 tahun.

Selain itu, tertata juga deretan trofi, piagam, serta buku-buku koleksi (alm.) Sapto Rahardjo. Memang, sebagai seorang intelektual seni, Ari mengakui bahwa ayahnya adalah seorang yang gila baca.

Tak menginginkan sesuatu yang muluk-muluk, ia hanya berharap semua koleksi ayahnya yang ia tata rapi itu nantinya bisa dipakai oleh para musisi-musisi muda ataupun orang yang memiliki ketertarikan terhadap musik bisa menjadikan ruangan itu sebagai tempat belajar dan berburu referensi.

“Itulah sebabnya, saya lebih suka menyebutnya sebagai perpustakaan, bukan sebagai museum,” imbuhnya.

Betapa berharganya koleksi ayahnya itu menbuatnya harus berhati-hati dalam merawatnya. Tentu tak murah dan
tak mudah. Akan tetapi, demi kecintaannya musik dan besarnya komitmen untuk meneruskan perjuangan ayahnya,
ia pun rela merogoh koceknya sendiri.

Selain itu, guna memudahkan untuk mengaksesnya, ia pun dengan sabar memindahkannya satu per satu ke
dalam format digital. Meski hasilnya tak sebagus analog, namun ia tak memiliki cara lain untuk ‘melestarikan’ karya
sang maestri gamelan kontemporer itu.

“Jujur saja, format digital jauh lebih murah. Selain itu, dengan format digital, para pengunjung nantinya bisa lebih mudah mengakses,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya