Entertainment
Selasa, 1 Oktober 2013 - 20:31 WIB

Konsep Panggung Minimalis untuk Benteng Vastenburg

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pertunjukan Solo International Performing Art (SIPA) 2013 yang digelar di Benteng Vastenburg belum lama ini. (JIBI/Agoes Rudianto/dok)

Usianya tak lagi muda, 268 tahun tepatnya. Meskipun terbilang renta, kondisi fisiknya masih terbilang prima. Begitulah sekilas gambaran Benteng Vastenburg. Sisa bangunan peninggalan Belanda ini masih kokoh berdiri menantang zaman. Di kelilingi sejumlah bangunan baru yang mencolok di jantung Kota Solo, bangunan tembok Vastenburg masih tetap menarik meskipun warna putih cat yang melapisinya mulai mengelupas.

Meskipun tak tampil sempurna, namun sisa bangunan tembok yang masih tersisa kerap dibidik menjadi latar berbagai pertunjukan kesenian bertaraf internasional. Sebut saja Solo International Performing Arts (SIPA) dan Solo International Ethnic Music (SIEM) yang pernah memanfaatkan sisa bangunan tembok ini sebagai elemen artistik utama pendukung gelaran.

Advertisement

Eksotika bangunan seluas 31.533 m2 ini sebagai primadona baru ajang gelar di Kota Bengawan rupanya memberikan tantangan tersendiri bagi penggarap artistik panggung yang menyelenggarakan acara di tempat ini.

Bagi penata artistik yang kerap dipercaya menggarap sejumlah gelaran budaya di beragai tempat, Bibit Waluyo Wibawa, penyelenggaraan acara di Benteng Vastenburg ini menjadi ajang gelaryang paling menarik dari sejumlah lokasi penyelenggaraan lain di Solo.

“Benteng Vastenburg ini yang paling menarik di Solo. Tempatnya sendiri yang tertutup masih menjadi daya tarik orang untuk menonton pertunjukan ke sini. Kelebihan lainnya, lokasi ajang gelar ini memiliki batasan ruang yang jelas,” terang lelaki yang akrab disapa Jrabang ini ketika berbincang dengan solopos.com, Selasa (1/10) siang.

Advertisement

Jrabang yang sempat dipercaya menggarap artistik SIPA 2011 lalu ini menjelaskan lokasi ajang gelar representatif lain seperti Pamedan Pura Mangkunegaran, Lapangan Kota Barat, ataupun Alun-alun Utara yang bisa menampung puluhan ribu orang masih memiliki kendala batas ruang.

“Tempat lain masih menyatu antara jalan dan venue. Fokus konsentrasi pertunjukan pun terpecah. Sementara benteng bisa dibilang menjadi kawasan steril yang terkoordinasi. Batasan ruangnya lebih jelas. Yang lain kita harus kerepotan menggiring fokus penonton ke panggung,” katanya.

Menurut Jrabang, konsep panggung minimalis tepat diterapkan di Benteng Vastenburg. “Bentengnya sendiri sudah menjadi daya tarik tersendiri. Seperti pertunjukan SIPA tempo hari, tidak perlu banyak ornamen, hanya butuh permainan lampu panggung yang mumpuni saja sudah cukup. Semakin natural semakin baik,” bebernya.

Advertisement

Sementara penata artistik dari Mataya Art and Heritage, Heru Prasetya, menilai hampir semua titik di benteng bisa dieksplorasi menjadi ajang gelar yang menarik. “Semua titik bagian dalam dan pelataran benteng bisa digarap menjadi ajang gelar.Misalnya sayap barat, sayap utara, dan di antara dua pohon beringin yang ada tepat di tengah-tengah benteng. Pelataran juga bisa digunakan,” terang pria yang belakangan ini terlibat dalam penggarapan panggung di Benteng Vastenburg,

Senada dengan Jrabang, Heru juga mengungkapkan penggarapan panggung di Benteng Vastenburg tidak perlu digarap terlalu mencolok. “Benteng sudah punya kekuatan artistik. Dengan konsep panggung yang digarap dengan perspektif heritage, kekuatan panggung bisa terdongkrak. Ibaratnya kita tinggal menambahkan ‘bunga’ agar lebih cantik dan ‘hidup’,” paparnya.

Meskipun menarik secara artistik, Heru membeberkan kendala debu menjadi kendala utama yang dikeluhkan sebagaian penonton yang menyaksikan gelaran di tempat ini. “Angin di sana cukup kencang. Dan debu masih menjadi kendala utama hingga saat ini. Kalau memang venue ini akan dimanfaatkan, penghijauan di kawasan ini mendesak dilakukan,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif