SOLOPOS.COM - Fajar Satriadi (JIBI/SOLOPOS/Chrisna Chanis Cara)

Fajar Satriadi (JIBI/SOLOPOS/Chrisna Chanis Cara)

“Selain ahli perang, Raden Mas Said adalah figur seniman, agamawan dan budayawan yang patut dicontoh.” Begitu Fajar Satriadi memahami Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Praja Mangkunegaran yang fenomenal itu.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Bagi penyimak pentas Matah Ati, nama Fajar Satriadi tentu tak asing lagi. Dialah orang di balik Raden Mas Said sejak pentas Matah Ati di Esplanade Singapura, dua tahun lalu. Bagi Fajar, kesempatan pentas di tanah kelahiran Raden Mas Said, 8-10 September mendatang adalah sesuatu yang istimewa.

“Sangat luar biasa bisa bermain di Pamedan, wilayah kerajaan Raden Mas Said. Di sinilah darah dan perjuangan ditumpahkan,” tuturnya saat ditemui di sekretariat Matah Ati di bilangan Laweyan, Selasa (21/8/2012).

Meski telah tiga kali memerankan Pangeran Sambernyawa di Matah Ati, Fajar tetap mempersiapkan diri dengan total. Lelaki asal Solo ini tak segan mengulang membaca literatur tentang Raden Mas Said yang ia temui di perpustakaan Mangkunegaran.

Ia pun kembali menyelami arsitektur Istana Mangkunegaran yang baginya sangat memberi inspirasi peran. “Saya coba hayati suasana di sana, lantas memahami tombak dan panah kerajaan. Sebagai panglima perang, senjata ini memang tak lepas dari beliau,” ungkapnya.

Petilasan Raden Mas Said di Sendang Siwani pun tak lupa dijelajah lelaki jebolan S2 Jurusan Penciptaan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo ini. Untuk semakin mendalami karakter Pangeran Sambernyawa dalam peperangan, ia juga menyambangi area pertempuran di Wonogiri.

Selain persiapan teknis, lelaki yang pernah tampil di Llangollen International Musical Eisteddfod, pentas musik akbar di Inggris Raya, ini menjalani puasa mutih. Fajar mengaku, lelakon tersebut sudah dijalaninya sejak pentas perdana di Singapura.

“Sebelum pentas, saya selalu puasa mutih selama tiga hari. Laku ini sangat membantu meningkatkan spirit,” ujar asisten sutradara Matah Ati ini.

Ia menyebut pentas Matah Ati di Solo adalah tantangan tersendiri. Selain konsep panggung yang baru, tantangan terbesar baginya adalah menaklukkan masyarakat Solo. “Warga Solo tentu lebih tahu cerita ini dibanding warga Jakarta atau Singapura. Pembuktian Matah Ati yang sebenarnya ada di sini,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya