Mencintai budaya sendiri. Inilah spirit yang diusung Matah Ati dalam pentasnya di Pamedan Pura Mangkunegaran, 8-10 September. Tim produksi Matah Ati paham betul bagaimana menebarkan virus ini kepada khalayak luas. Sebagai representasinya, Matah Ati membidik generasi muda untuk menyimak pentas kolosal akbar tersebut.
Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia
Hal itu diungkapkan penata artistik Matah Ati, Jay Subyakto, dalam dialog budaya di Loji Gandrung, Senin (13/8/2012) siang. Meski Matah Ati terbuka untuk umum, pihaknya lebih senang bila pentasnya dilihat anak muda. Jay menilai, generasi inilah kunci kelangsungan sebuah budaya. “Lewat Matah Ati, kami ingin mengajak generasi muda cinta dengan apa yang dipunyai,” ujarnya.
Jay mengungkapkan, seseorang akan lebih mudah go international bila mengembangkan lokalitasnya. Ia pun membuktikannya lewat Matah Ati yang pentas perdana di Esplanade Singapura, dua tahun lalu. “Lebih baik menggarap tradisi sendiri dibanding mengikuti budaya pop,” lanjutnya.
Produser Matah Ati, Atilah Soeryadjaya menambahkan, target penonton muda tersebut akan coba dicapai lewat distribusi tiket pentas. Menurut dia, sekitar 4.000 hingga 5.000 tiket festival gratis akan banyak disebar di lembaga pendidikan, lembaga kesenian dan sanggar-sanggar. “Ada ratusan tempat yang sudah di-list. Sebagian di antaranya lembaga pendidikan seperti kampus.”
Dalam dialog budaya itu, hadir seniman Solo seperti Slamet Gundono, Suprapto Suryodarmo hingga Djarot Budidarsono. Mereka bersama personel Matah Ati seperti Fajar Satriadi (pemain utama dan asisten sutradara), Inet Leimena (stage manager) dan Daryono (koreografer) berbincang tentang pentas outdoor spektakuler itu.