SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Saeful Achyar, Mahasiswa PBSID Universitas Muhammadiyah Surakarta Pengelola Majalah Papirus.

 “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri” (John Dewey, 1948).

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

 

Kita mendapati sekolah dengan gelimang kisah, petuah, gairah dan kemalasan sebagai sebuah institusi pendidikan. Ruang dan jalan sekolah tercipta dan digerakan oleh deretan konsensus kurikulum. Sekolah pun mulai dihuni oleh tubuh-tubuh mungil dengan kehausan ilmu dan buaian kasih guru. Melalui berbagai pesan pikiran, perasaan dan imajinasi lekas bertumbuh membentuk diri, lalu menemukan jati diri para anak sekolah. Lebih jauh, masa depan dan impian terbersit hingga membuat setiap anak sekolah merelakan dirinya terpisah oleh tanah, tempat ia merajut masa kecil menuju ke sebuah perantauan ilmu.

Sejauh itu pula, sejak lampau kita acap kali mendengar sebuah hadis yang terjemahannya kurang lebih berbunyi: Carilah ilmu sampai ke negeri China. Dan, melalui sekolah, kita menemui banyak ilmu yang mencipta para manusia yang mampu berpikir kritis, analitis, moralis, kreatif, inovatif. Namun, ditengah hadirnya modernisasi teknologi dalam logika pasar, sekolah terjelma menjadi mesin pengeruk untung yang abai pada petuah Ki Hajar Dewantara ini: Ing Ngarsa sing Tuladha, Ing Madya Bangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Banyaknya politisme yang digerakkan di area dalam maupun luar birokrasi sekolah, membuat sekolah bagai ladang subur mencari untung melalui produk-produk picisan yang kerap dikeluarkan para penguasa modal. Keilmuan terabaikan di tengah gersangnya ladang keilmuan yang justru dikeringkan melalui teknologisasi yang membuat sekolah kian mahal. Ia malah mencipta manusia yang haus akan uang, kekuasaan dan wibawa, yang kerap menikam teman maupun lawannya dari belakang. Mungkin, korupsi yang berlimpah dengan obyek berbagai aset negara itu pula yang banyak dilakukan oleh para manusia produk sekolahan yang kian elitis itu.

Cikal Bakal Elitisme

 

Melalui sekolah “etis”,  yang pada mulanya diciptakan pemerintah Hindia Belanda pada abad XIX itu, sekolah itu elitis. Bagi pribumi rendahan, sekolah  menjadi angan absurd yang tak bakal dicapai demi suatu stratifikasi kelas atau sekadar mereguk ilmu modern ala barat. Elitisme sekolah itu terjadi melalui ruang, biaya dan peraturan yang dibuat kolonial. Masa itu, sekolah menjadi oase di tengah keterbelakangan pribumi akibat kolonialisme.

Soekarno pernah mendapat limpahan berkah sebagai anak priyayi rendahan yang mampu bersekolah di pendidikan elite model kolonial. Penuh takjub Soekarno menggambarkan bangunan sekolah model kolonial: Gedung itu bagus (sekolah kolonial) terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru-muda. Di situ terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di sekolah bumiputra, maka bangku-bangku di sini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku (Cindy Adams, 2001). Elitisme sekolah telah tampak pada permulaan pendidikan modern ditanamkan di Indonesia.

Elitisme tak hanya terjadi pada pendidikan strata bawah. Sekolah tinggi kolonial, yang dianggap sebagai sekolah pada strata tertinggi mengalami elitisme—yang marak dengan buaian ijazah dan pekerjaan di institusi pemerintah maupun swasta kolonial. Pengantaran ini menjebak dan menuai lulusan yang acuh pada keilmuan, pengabdian dan mengontruksi nalar picisan. Elitisme ini bahkan mencipta masyarakat kelas baru yang sengaja diciptakan dan dijadikan kaki tangan kolonial. Bagi pribumi rendahan, universitas (kolonial) tak menjadi angan. Itu sebabnya, Taufik Abdullah pernah memberi konklusi bahwa dari sudut struktur masyarakat kolonial, dengan kelas kelas sosial yang terdiri dari Belanda, Timur Asing dan Pribumi bisa dimengerti bahwa univesitas ini juga begitu elitis (Prisma, 1978).

 

Asketisme Sekolah

 

Kita berharap sekolah itu asketis. Sekolah tak lagi menjamin dan mengiming-imingi dalam imajinasi yang begitu bombastis melalui paradigma kepamrihan. Iklan-iklan yang tersebar melalui berbagai retorika khas penuh rayuan mengeluarkan gelontoran dana besar hanya menjadikan sekolah itu telah terjebak pada nalar kapitalisme. Berbagai sekolah pun menuai dan meraup anak sekolah yang mencipta berbagai kemungkinan tapi tak pernah luput dari segala tuntutan pamrih.

Sebuah pernyataan satire terucap oleh Saichiro Honda, pendiri Honda Corp itu ketika ia ditanya oleh guru besarnya, “Saudara, Kau tak pernah masuk dan nilaimu tak pernah bagus di sini, sebenarnya apa yang kau cari?” tanya si guru besar.  “Aku tidak mencari nilai, yang aku cari di sini adalah pengalaman dan ilmu”. Honda mencipta mesin dan mendirikan korporasi besar berdasar pengalaman dan ilmu yang direguk tanpa iming-iming ijazah dan pekerjaan. Narasi ini mungkin bisa jadi acuan bagi anak sekolah untuk mencari tuah dan berkah bagi hidupnya ke depan.

Sebagaimana kita lihat sekarang, sekolah modern mengikuti gaya khas sekolah kolonial. Sekolah tak memiliki nalar asketis. Yang terjadi justru adalah perlombaan gengsi melalui slogan, nama, fasilitas, biaya, bahkan bentuk bangunan. Sekolah sebagai institusi publik dan basis pengabdian ilmu malah mengalami alienasi dari waktu ke waktu. Sekolah adalah ruang elitis yang dihuni oleh manusia-manusia hedonis, konsumtif dan apatis, meski tak luput pula melahirkan manusia unggul penuh dedikasi dan membumi. Pada akhirnya, semoga sekolah memberi berkah, meski sekian lama kita harus dan telah menikmati waktu di ruang sekolah. Seperti dikatakan Sasaki Shiraisi (2009), “Sekolah menyita suatu periode kehidupan seorang manusia atas nama masa depan”. Dan, masa depan kita pun sekarang ditentukan oleh institusi bernama sekolah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya