SOLOPOS.COM - Lukisan Karya Hardoko berjudul Mengarak Momok Hiong

Lukisan karya Aji Windu Viatra berjudul PErjanjian Keras Kepala

Setiap seniman memiliki cara sendiri mengekspresikan kegelisahannya. Ernawan Fajar misalnya, berkisah tentang hidupnya di lima lembar kertas. Tekniknya dalam berkarya cukup unik, yakni digital print on acrylic mica.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Sekilas lima karyanya itu terpisah-pisah dengan judul berbeda. Namun, semuanya saling berhubungan, menceritakan kesehariannya selama 2012. Inilah yang ia sebut sebagai buku harian. “Isinya curhat-curhatanku,” katanya.

Judul karya yang pertama adalah If I, sosok bergambar hitam pekat, tangan kanannya memegang pistol, tangan kiri menggenggam sendok garpu. Ernawan alias Mamang ini, mengaku kerap resah dengan pemberitaan di koran dan televisi. Orang menghalalkan apapun demi sesuap nasi.

Judul kedua, Membaca. “Aku belajar dari apapun, dan proses membaca itu belum selesai entah sampai kapan,” ujarnya. Karya ini tentu berkaitan dengan yang ketiga, Where Is My Home, pembelajarannya memahami diri sendiri belum usai. Ia terus mencari jati dirinya di dalam “rumah pribadi”. Secara nyata, ia sendiri mengakui belum memiliki tempat tinggal, masih indekos di daerah Bantul.

Waiting For, karya yang keempat ini sepertinya agak melenceng meskipun ini adalah kisah nyata yang pernah dialami Mamang. Saat itu, ia sedang jalan-jalan ke Pasar Kembang, Jogja. Ia melihat seorang wanita tuna susila sedang duduk, menunggu “pelanggan”. “Hanya melihat mereka menunggu, entah menunggu apa,” ujarnya.

Lukisan Karya Hardoko berjudul Mengarak Momok Hiong

Hidup ini memang penuh problem. Semua orang menggenggam persoalannya masing-masing. Mamang mengekspresikan segala persoalan hidupnya dan sekitarnya dalam karyanya yang terakhir, Let Me Try To Fix You. “Benang merahnya, inilah hidup, ada suka, ada susah. Hidup selalu berproses,” kata lelaki kelahiran Cilacap, 31 tahun ini.

Teknik pengungkapan “curhat” Mamang ini bisa dikatakan cukup unik. Pertama-tama ia menggambar di atas kertas dengan bolpen hitam. Ia lantas mencetaknya pada mika. Mika itu lalu diletakkan di atas background berbahan kertas yang dicat.

Setelah dipasangi pigura, gambar dalam mika seolah membayang di kaca dan background. “Teknik ini saya rasa belum banyak dipakai. Awalnya saya ragu, tapi ada teman yang bilang ‘bisa’. Saya coba saja. Ini belum perfect,” kata Mamang.

Selain Mamang, ada delapan seniman lain yang ‘curhat’ dalam pameran bertajuk Cangkrukan di Warung Kopi Toraja, Jalan Ambar Binangun 28, Sono Pakis Jogja. Di antaranya Aji Windu Viatra, Allatief, Dodi Irwandi, Handoko, Nino, Praditya Wibby, Rio Humamsyach Ali, Titus Garu Himawan dan Surya Wirawan.

Kata “cangkrukan” menurut kurator pameran, Octalyna Puspa Wardany biasa disapa Opee, semacam istilah yang kerap dipakai arek-arek Jawa Timur. Cangkrukan berarti nongkrong bareng atau tempat nongkrong, di warung, angkringan atau dimanapun yang penting ngobrol.

“Kata cangkrukan dipilih karena berkesan ringan, sederhana, namun tak meninggalkan muatan kesungguhan dengan pengharapan serius. Dalam nongkrong bareng, tak ditabukan adanya suasana perbincangan yang serius dengan disisipi canda dan tawa,” kata Opee.

Pameran yang berlangsung 20 Mei-10 Juni ini menghadirkan enam drawing, lima digital print, lima cat minyak di atas kanvas, satu cukil kayu dan dua bermedia campuran. Seperti Mamang, seniman lain dalam kesempatan ini menghadirkan hal-hal yang sepele tapi penting, kegiatan sehari-hari seperti membaca, mengintip, menunggu, merasa lapar. Tentu dengan rohnya masing-masing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya