SOLOPOS.COM - Salah satu adegan pementasan teater dengan lakon Gundala Gawat di Taman Budaya Jawa Tengah yang lebih kondang dengan sebutan Taman Budaya Surakarta (TBS), Minggu (8/12/2013) malam. Pertunjukan teater itu merupakan adaptasi karya naskah teater yang ditulis Goenawan Mohamad. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Tokoh komik legendaris karangan Harya Suraminata (Hasmi), Gundala Putra Petir, bangkit kembali. Menembus batas dua dimensi, karakter Gundala lahir dalam pementasan teater berjudul Gundala Gawat. Pertunjukan teater modern adaptasi naskah garapan Goenawan Mohamad itu dipentaskan kelompok Teater Lungid di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah yang lebih kondang dengan sebutan Taman Budaya Surakarta (TBS), Minggu (8/12/2013) malam.

Dari balik pintu merah bertuliskan, “Ensiklopedia Gundala”, karakter heroik garapan Hasmi muncul satu per satu. Diawali dengan kemunculan Gundala yang tak lagi muda. Penampilan pahlawan super yang sudah belasan tahun melepas masa lajang itu tak lagi sempurna. Perutnya yang dulu rata, kini dihiasi lemak yang membuatnya tampak lebih buncit.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Gundala memang sudah lama pensiun sebagai superhero dan menikahi gadis pujaannya yang doyan fitness bernama Merpati. Kedamaiannya sebagai pensiunan pahlawan super terkoyak dengan panggilan telepon dari sahabat pahlawan super lamanya, Jim Kartubi (artikulasi Jin dalam bahasa Jawa dibaca Jim). Jim mengabarkan jika superhero hasil rekaan Hasmi diundang ke kantor Pusat Pengerahan Tenaga Superhero.

Di markas besar tempat Hasmi menggarap cerita komik, sudah berkumpul Gundala, Jim Kartubi, Akuanus (plesetan dari Aquarius si manusia air), Sun Bo Kong, Pangeran Melar, dan tokoh baru bernama Agen X9. Mereka sengaja diundang untuk menyelesaikan perampokan bersenjata yang marak di Klaten dan sejumlah kota.

Pertunjukan teater bersalut kisah superhero ini turut diwarnai satire yang ditujukan kepada elit politik yang akan berlaga di Pemilu 2014 mendatang. Alih-alih terkesan berat, selama 2,5 jam menyimak jalannya cerita, penonton terus disuguhi guyonan yang mengocok perut. Kehadiran karakter superhero yang dibuat di luar ekspektasi, membuat penonton terus bertahan.

Satire pun mengalir enteng tanpa terasa menggurui. Seperti salah satu adegan saat Gundala terlibat adu mulut bersama Merpati saat meributkan asal usul ibu Gundala yang jarang disebut di komik. “Ibumu itu siapa sih? Kenapa yang disebut selalu bapakmu saja [Kiai Bledeg]. Jangan-jangan ibumu cuma selingkuhan,” tanya Merpati penasaran.

Mendengar pertanyaan Merpati, Gundala marah. “Kamu jangan ngawur. Aku sudah 15 tahun tidak melihat ibuku, namanya Petir Wedok, dikenal dengan nama PW. Walaupun ibuku petir, tapi beliau berkerudung. Tapi jangan salah, meskipun berjilbab, dia tidak berpartai. Karena petir enggak boleh ikut partai. Harus putih. Soalnya harus mendistribusikan petir dengan adil dan merata,” jawab Gundala.

Konflik pun bergulir. Gundala bersama lima superhero lain harus menyusup ke biang keladi perampokan yang ditengarai dilakukan kelompok Koalisi Tata Tentrem dan Gugur Bunga. Pengkhianatan, konspirasi, dan karut marut pun sukses ditampilkan di atas panggung cerminan suasana politik jelang Pemilu 2014 ini.

Puncaknya, perampokan pun meletus di Klaten. Koalisi Tata Tentrem dan Gugur Bunga sempat berebut daerah perampokan. Namun dengan diplomatis, pengelola bank menawarkan jalan damai dengan menggelar pemungutan suara untuk menentukan siapa yang layak merampoknya.

Koalisi Tata Tentrem menang. Namun uang hasil rampasan dilarikan Agen X9. Sementara superhero saling tuduh satu sama lain. Akhir kisah dibuat menggantung dan menyisakan tanya di benak penonton.

Sebelum dipentaskan di Solo, naskah teater ini terlebih dahulu dipentaskan Teater Gandrik di Jakarta dan Jogja, April lalu. Namun di tangan kelompok teater berbahasa Jawa ini, pertunjukan Gundala Gawat berganti wajah.

Dialog dalam pementasan ini dibangun dengan bahasa Jawa dan bahasa tutur sehari-hari yang lekat dengan keseharian. Selain itu, nuansa musik tradisional kental mengiringi sepanjang pertunjukan. Gojekan ala ketoprak pun turut dihadirkan dalam pertunjukan ini.

Penerjemah Naskah, Pelok Trisno Santoso, mengatakan pementasan ini melibatkan 80 orang pemain dan kru pertunjukan. “Kami sebelumnya pernah sukses mementaskan naskah Goenawan Mohamad. Oleh Sapardi Djoko, kami dianggap mampu. Makanya kali ini diberi naskah lagi,” terang Pelok selepas pertunjukan.

Menurut Pelok, dirinya sengaja mementaskan naskah dalam Bahasa Jawa untuk mendekatkan bahasa Jawa kepada penonton muda. “Para pemuda sudah berjarak dengan Bahasa Jawa. Padahal di dunia ini tiap tahun, 25 basa ibu musnah. Di sini naskah sengaja dipentaskan pemuda,” pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya