SOLOPOS.COM - Salah satu adegan dalam pementasan Sendratari Ramayana di pendapa SMK Negeri 8 Solo, Kamis (26/7/2012) malam. Ajang Nemlikuran itu juga menyuguhkan sejumlah tari yakni Srimpi Sangupati, Golek Campursari, Adanenggar Kelasworo dan Golek Kayu. (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Salah satu adegan dalam pementasan Sendratari Ramayana di pendapa SMK Negeri 8 Solo, Kamis (26/7/2012) malam. Ajang Nemlikuran itu juga menyuguhkan sejumlah tari yakni Srimpi Sangupati, Golek Campursari, Adanenggar Kelasworo dan Golek Kayu. (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Sang dewi itu tak lagi muda. Make up tebal pun tak mampu menyembunyikan garis kerut di wajahnya. Meski telah dimakan usia, kemahirannya berolah tari seakan tak berubah. Sekitar 40 tahun lalu, perempuan ini yang menjadi buah bibir Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Dialah Tutut Indriyanti Kusumo Hastuti, 61. Ajang Nemlikuran yang digelar di Pendapa SMKN 8 Solo, Kamis (26/7) malam, menjadi bukti sisa keanggunannya menjadi Dewi Sinta.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

“Rasanya seperti nostalgia,” ujar Tutut saat ditemui Solopos.com seusai pentas. Kelembutan gerak tarinya seakan membius ratusan penonton yang memadati Pendapa. Tutut tampak menghayati sendratari pertamanya setelah ia gantung sampur, medio 1971. Meski gerakannya tak seluwes dulu kala ia masih berusia muda, Sinta “sepuh” ini tetap mampu menghadirkan rasa. Roh tari yang kadang tak dimiliki penari masa kini. “Waktu dengar gamelan, rasanya seperti kembali muda. Saya jadi bersemangat,” tutur perempuan yang kini berdomisili di Jakarta itu.

Berduet dengan Wahyu SP yang didapuk menjadi Sri Rama, Tutut menyajikan sekuel sendratari selama satu jam. Meski dipadatkan, babak Sinta Ilang hingga Rahwana Gugur sukses menjadi bukti kembalinya sang penari legenda. Namun layaknya penari tua, kembalinya Tutut di panggung tari bukan tanpa kendala. “Paling sulit itu waktu jengkeng terus mendak. Duh, kakinya sudah enggak kuat,” ucapnya sambil tersenyum.

Malam itu, Sendratari Ramayana Prambanan era 70-an seolah dipindah di acara Nemlikuran. Selain Tutut, hadir pula Mulyadi “Pentil” yang terkenal dengan tokoh Anoman. Sementara Gunawan Triatmodjo yang memerankan Rahwana dan Tejo S yang membesut Indrajit melengkapi reuni penari sepuh legendaris. “Hampir 10 tahun saya enggak nari, sempat ngos-ngosan pas adegan perang. Mengatur napas jadi kunci pergelaran tadi,” ujar Mulyadi yang notabene mantan personel Padnecwara.

Koreografer sendratari, Mahesani Tunjung Seto, mengaku sempat minder saat didapuk menjadi pengarah penari sepuh handal. Koreografer muda jebolan ISI Solo itu pun sempat kesulitan saat menyesuaikan perkembangan tari. “Tari zaman 70-an tentu beda dengan sekarang. Saya banyak belajar dari mereka.”

Sebelum Sendratari Ramayana, Nemlikuran dibuka tari pethilan seperti Srimpi Sangupati, Golek Campursari, Adanenggar Kelasworo dan Golek Kayu. Di Golek Kayu, penonton sukses terpingkal berkat aksi duo Hardjono dan Hartono. Hartono pun sempat ngglempang saat berjoget di tari dagelan tersebut. “Wah, iki mesti tiba tenanan, dudu dagelan,” ucap seorang penonton sambil tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya