SOLOPOS.COM - Petugas mengecek fungsi alat di Studio Lokananta, Jl. Ahmad Yani, Solo, Rabu (11/10/2017). Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1970-an tersebut mendistribusikan digitalisasi lagu-lagu rilisan Lokananta ke sejumlah platform musik berbasis streaming. (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Lokananta menata diri menjadi Rumah Musik Indonesia.

Solopos.com, SOLO — Rumah Musik Indonesia (RMI) menjadi mimpi Lokananta agar terus dikenal di masyarakat. Perusahaan rekaman pertama dan satu-satunya berpelat merah ini memang tengah gencar promosi dengan memanfaatkan beragam cara mulai dari media sosial hingga mengajak berbagai komunitas untuk meramaikannya.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

RMI ini sebagai hasil diskusi panjang tentang pembuatan museum musik di Indonesia yang sudah dikemukakan sejak dua tahun lalu. Adalah Badan Ekonomi Kreatif dan Irama Nusantara yang digandeng untuk menyiapkan RMI sebagai sarana edukasi publik tentang musik Indonesia.

Kepala Lokananta, Miftah C Zubir, bertutur RMI berupa offline dan online yang menyuguhkan direktori digital musik Indonesia dan museum musik. Direktori semacam digital library ini berisi lagu-lagu koleksi Lokananta. Namun demikian, ia menambahkan lagu dari label rekaman di Indonesia.

“Kami keluarkan koleksi kami sendiri dulu sambil mengetuk label lain. Inilah yang tak mudah lantaran tak hanya menyangkut urusan finansial, tetapi juga terkait izin, hak kekayaan intelektual, dan beragam prosedur yang harus dilalui,” tuturnya, saat ditemui di ruang kerjanya di Lokananta, Jl. Ahmad Yani, Solo, Rabu (11/10/2017).

Dari segi fisik, Lokananta akan dibuat memorabilia museum musik. Memanfaatkan kantor berupa bangunan kuno bergaya indis, gudang musik yang menyimpan lebih dari 40.000 vinyl atau piringan hitam dari berbagai genre ini bakal memamerkan koleksinya.

Mulai dari mesin pembuat piringan hitam, mesin pengganda kaset, alat pemutar vinyl hingga satu partisi yang memajang lagu Indonesia Raya tiga stanza beserta sampul piringan hitamnya yang tersimpan baik di ruang museum di gedung utama.

Begitu pula dengan koleksi puluhan ribu piringan hitam yang tertata rapi di ruang vinyl. Selain tersimpan rapi rekaman Indonesia Raya tiga stanza, ada pula album paling laris milik maestro keroncong, Waldjinah, berjudul Entit yang dirilis 1971, hingga Remadja Bahana yang memopulerkan lagu Burung Kakaktua.

Sayang, pengelola baru menyimpan koleksi ini pada rak-rak besi tanpa adanya katalog, meski sebenarnya rekaman ini sudah mengalami digitalisasi. Koleksi ini ditempatkan di ruang vinyl berpendingin yang diatur dengan suhu sekitar 16-20 derajat celcius tanpa pernah dimatikan.

Tapi, mengubah penampilan Lokananta tak semudah itu. Gedung gaya art deco ini tengah diproses menjadi benda cagar budaya oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Tak pelak, perbaikan skala kecil pun tak boleh dilakukan sembarangan. Alhasil, yang bisa dilakukan pengelola adalah perawatan dan pemeliharaan.

“Setidaknya saya ingin mengubah tampilan depan gedung ini agar lebih fresh. Ini untuk menghilangkan kesan masyarakat lokal jika Lokananta itu hanya berupa gedung besar. Pengunjung yang datang ke sini justru sebagian besar dari luar kota,” imbuh Miftah yang mengepalai Lokananta sejak 2015 lalu.

Petugas menata piringan hitam pada rak di Ruang Vinyl, di Lokananta, Solo, Rabu (11/10/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Petugas menata piringan hitam pada rak di Ruang Vinyl, di Lokananta, Solo, Rabu (11/10/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Di sisi lain, perusahaan rekaman yang sudah menghadapi pembajakan sejak 1982 ini terus membuka diri. Konsep creative space pun digaungkan untuk mengajak masyarakat khususnya warga Solo generasi muda berkunjung sekaligus mengenal lebih jauh Lokananta. Berbagai acara digelar di tempat ini seperti pameran komik, mural, sampai konser musik.

Ruang produksi dan dapur rekaman pun terus jalan dengan permintaan paling banyak adalah penggandaan kaset pita dan Compact Disk (CD). Kebanyakan mereka adalah musisi berlabel indie yang hendak rekaman dan menggandakan kaset.

Salah satu penulis buku Lokananta, Fakhri Zakaria, mengatakan ditilik dari Lokananta sebagai perusahaan rekaman, tentunya harus menyesuaikan perkembangan zaman. Selain koleksinya yang sudah digitalisasi, streaming jalan, menurutnya perlu dipikirkan kembali untuk pressing piringan hitam karena pasarnya masih cukup menjanjikan.

“Apalagi Lokananta awalnya dikenal sebagai pabrik piringan hitam. Akan tetapi, dari aspek pengarsipan mesti membuat mekanisme supaya arsip penting Lokananta bisa diakses publik. Contoh yang bagus itu National Library of Congress di Amerika atau kalau dalam musik rock n roll Hall of Fame di sana yang mencakup aspek pengarsipan, pameran, dan live show,” tuturnya. 

Sejarawan, Heri Priyatmoko, menemukan secuil fakta berharga yaitu Lokananta dilahirkan bukan bertujuan untuk mengeruk profit. Tempat yang ikut berjasa membesarkan nama maestro keroncong Gesang Martohartono dan Waldjinah ini sedari awal memancangkan niat murni mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia. Lokananta mengusung misi utama menguatkan nasionalisme dengan cara memperkenalkan dan memopulerkan lagu-lagu nasional dan daerah di pelosok Tanah Air.

“Semestinya pemerintah berani keluar duit merawat tinggalan sejarah yang tak ternilai itu. Menilik segi umur dan kiprah, Lokananta masuk dalam kategori pusaka ragawi yang kudu dilestarikan dan dikembangkan untuk kepentingan publik, bukan dibiarkan hidup dalam kesenyapan. Lembaga pelat merah kini getol membangun museum, menggarap sektor pariwisata serta mengenalkan potensi sejarah-budaya Nusantara di mata dunia. Tapi, di satu sisi aset sejarah yang terberi dari masa lalu seperti Lokananta justru diabaikan,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya