SOLOPOS.COM - Ilustrasi (kvltmagz.com)

Jogja (Solopos.com) – Sebuah film yang merupakan adaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari diluncurkan Minggu (16/10/2011) di Sinema XXI Jogja. Film berjudul Sang Penari itu dibesut sutradara Ifa Isfansyah.

Film ini menceritakan kisah percintaan Srintil (Prisia Nasution), penari ronggeng dengan Rasus (Nyoman Oka Antara). Mengambil setting tahun 1960-an di sebuah kampung miskin wilayah Banyumas, film ini istimewa dengan penggarapan selama tiga tahun. “Prosesnya memang lama dan film ini kami interpretasikan secara bebas,” kata Salman Aristo, penulis skenario usai acara nonton bareng.

Bagi pemeran utama, Oka, film ini banyak memberikan pengalaman. “Saya treatment dadakan menguruskan badan, untunglah semua orang sangat friendly. Saya sempet terharu sampai nangis dan tidak percaya ada orang dipenjara, dikurung pada zaman dulu. Sempet gemeter,” ungkapnya. Kok bisa logat Banyumasan? “Sebelumnya saya sudah belajar logatnya. Jadi tidak terlalu sulit,” lanjut Oka.

Menurut penulis novel, Ahmad Tohari film ini lebih dramatis dibanding teksnya. “Saya orang kampung terlalu halus dan takut pada kekuasaan waktu itu. Sekarang zamannya agak terbuka. Saya tidak tega membuat teks Srintil dikasari, saya nggak setega itu. Memang sutradaranya lebih kejam daripada saya,” katanya diiringi senyum.

Meski demikian, Tohari mengakui inti novel telah terwakili oleh film ini. Rasa empati yang besar terhadap masalah masyarakat kecil akan kekuasaan ditumbuhkan di film yang juga dimeriahkan Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo ini. Sayangnya, lanjut Tohari, film ini secara latar tidak sama dengan novelnya. “Diceritakan terjadi di daerah kekeringan, tapi di sini latarnya justru hijau semua, menurut saya tidak masalah karena novel saya bisa diinterpretasikan dalam bentuk apaoun,” imbuhnya.

Landung Simatupang yang berperan sebagai kakek Srintil membenarkan hal itu. Ia mengaku sempat kesulitan selama syuting karena musim penghujan sehingga ia harus rela terjatuh. “Syutingnya sangat berat, hujan sepanjang hari. Saya kepleset, jatuh berulang kali. Tapi untunglah kerjasama di lapangan dan bantuan masyarakat Banyumas luar biasa,” kata Landung.

Film ini diharapkan mampu menjadi pembanding dengan film lain. “Mengapa kita tidak menengok yang di bawah. Nasib-nasib buruk zaman dulu bahkan hingga sekarang harusnya diberikan empati untuk menggerakkan masyarakat berada bersopan santun. Kayaknya sekarang ini sopan santun mulai ditinggalkan,” pesan Tohari.

JIBI/Harian Jogja/uut

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya