SOLOPOS.COM - Pemain komunitas Sego Gurih saat tampil di lapangan Sosrowijayan Wetan atau yang populer disebut Sarkem yang berlokasi di kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedong Tengen mementaskan naskah berjudul Purik, Sabtu (14/12/2013).(JIBI/Harian Jogja/kurniyanto)

Harianjogja.com, JOGJA-Komunitas Sego Gurih kembali menunjukkan idealisme mereka dengan tampil di wilayah-wilayah tidak lazim yang jarang tersentuh panggung pertunjukkan teater. Kali ini, mereka tampil di Sosrowijayan Wetan atau yang populer disebut Sarkem yang berlokasi di kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedong Tengen.

Hujan deras yang mengguyur lapangan badminton Sosrowijayan tidak menyuurutkan minat ratusan orang yang duduk di atas tikar menyaksikan pergelaran drama berbahasa Jawa oleh komunitas Sego Gurih , (14/12/2013) malam. Lapangan badminton yang dikelilingi banyak bangunan losmen dan hotel itu tengah disulap menjadi panggung pertunjukkan minimalis.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Cuaca dingin karena hujan deras berubah menjadi kehangatan karena sepanjang pentas berlangsung, penonton tidak henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi para pemain. Tidak terkecuali Walikota Jogja, Haryadi Suyuti yang pada malam itu bersama sejumlah kerabatnya menyempatkan diri menyaksikan pergelaran tersebut. Tampil selama 90 menit, Komunitas Sego Gurih membawakan naskah berjudul Purik yang mengisahkan konflik rumah tangga yang dibalut dengan guyonan khas segar khas rakyat jelata.

Naskah yang ditulis oleh Wage Daksinarga ini mengisahkan seorang lelaki yang telah memiliki istri dan seorang anak. Bukannya sibuk mencari nafkah bagi keluarga, ia justru main ketoprak. Dari situ ia juga memadu kasih dengan wanita lain bernama Asih, rekannya sesama pemain ketoprak.

Naskah tersebut dikemas ringan dengan bahasa Jawa Ngoko. Uniknya, beberapa pemain itu ada yang menggunakan kostum Jawa, namun beberapa di antaranya justru tampil seadanya dengan celana pendek mengenakan kaus tanpa make up. “Ini memang karakter kami berusaha tampil menyatu dengan penonton. Dengan cara ini berusaha untuk tidak memiliki sekat dengan penonton,” kata Wage Daksinarga saat ditemui harianjogja.com, Sabtu di sela-sela pentas.

Suasana itu makin gayeng karena sepanjang pemain tampil itu mereka diiringi alunan musik gamelan berpadu dengan musik alat musik moderen seperti gitar, bass elektrik dan drum yang muncul di sela-sela dialog. Dalam pentas itu pula, sesekali penonton kerap menimpalinya dialog yang dilakukan pemain dengan celetukan-celetukan sehingga suasana pada malam itu tampak begitu hidup.

Komunitas Sego Gurih merupakan komunitas yang didirikan sejak 1996 silam yang cikal bakalnya lahir di SMKI, Bugisan, Bantul. Kelompok yang kerap bongkar pasang personel ini dalam penampilannya selalu tampil di tempat-tempat pinggiran atau wilayah pelosok dan konsisten menggunakan bahasa Jawa. “Penggunaaan bahasa Jawa Ngoko itu juga menjadi upaya kami untuk melestarikan bahasa sehari-hari yang tidak lain adalah bahasa ibu,” beber Wage.

Adapun pemilihan mereka tampil di wilayah pinggiran karena ingin memberikan tontonan bagi masyarakat yang selama ini jarang mendapatkan hiburan seni pertunjukkan.  Menurut Wage, pementasan tersebut merupakan pentas yang kesekian kalinya di tahun 2013 ini setelah sebelumnya mereka banyak menggelar pementasan di banyak desa pinggiran. Setelah keluar masuk desa, pada malam itu pertama kalinya komunitas Sego Gurih tampil di perkotaan yang notabene menjadi jantung perkotaan Jogja. “Kami diminta Pemerintah Kota Jogja tampi di sini,” beber Wage.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya