SOLOPOS.COM - SEMBAH SWARA-Musisi kontemporer, Yasudah memainkan komposisi bunyi bersama sejumlah penonton dalam gelaran Sembah Swara di Balai Soedjatmoko, Solo, kamis (12/4/2012) malam. Sembah Swara merupakan pendekatan baru melalui musik untuk membantu sistem pendengaran kreatif, berangkat dari situasi kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kebisingan. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

SEMBAH SWARA-Musisi kontemporer, Yasudah memainkan komposisi bunyi bersama sejumlah penonton dalam gelaran Sembah Swara di Balai Soedjatmoko, Solo, kamis (12/4/2012) malam. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Bagi manusia di perkotaan, kebisingan adalah teman. Hiruk pikuk suara menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Di titik tertentu, kebisingan bisa memecah pikiran jika kita gagal menghadapinya.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Lewat pentas Sembah Swara yang disuguhkan di Balai Soedjatmoko, Kamis (12/4/2012) malam, musisi kontemporer Yasudah menawarkan pendekatannya. Berbekal lima bilah bambu panjang dan tiga angklung, Yasudah mendemonstrasikan jalan keluar kebisingan. Bambu-bambu panjang itu diketukkan dengan tempo berbeda.

Sementara angklung dimainkan untuk mengiringi irama. Sepintas, yang terdengar adalah kebisingan yang tak beraturan. “Di situlah Sembah Swara membangun sistem pendengaran. Bagaimana kita tetap mandiri di tengah kebisingan. Namun juga tak melupakan interaksi di saat yang sama,” ujar Yasudah saat berbincang seusai pentas.

Malam itu, musisi kelahiran 1956 ini kerap mengajak penonton bergabung dalam pentas. Sejumlah penonton yang mempraktikkan Sembah Swara pun sempat kagok. Mereka bingung mempertahankan tempo di tengah banjirnya ketukan yang berbeda. “Sempat bingung juga, tapi menurut saya ini unik. Kepekaan pendengaran sangat teruji di sini,” ujar seorang penonton yang terlibat, Astri, 21.

Sebelum menyuguhkan Sembah Swara, lelaki yang berdomisili di Baluwarti ini memainkan tuts keyboard-nya. Tentu bukan bermain keyboard biasa. Yasudah menyuguhkan transisi suara keyboard menuju gamelan. Yang unik, nada keyboard bisa terbalik 180 derajat saat mode gamelan diaktifkan.

Pertunjukan makin berkesan kala sekumpulan anak Kampung Baluwarti menampilkann musik klothekan. Dengan media drum, jimbe dan bambu, mereka membawakan Iwak Peyek yang bikin ger suasana. “Anak-anak memang sukanya Iwak Peyek. Ini tidak masalah. Berangkat dari kesukaannya, sistem pendengaran kreatif bisa digarap maksimal,” tutur Yasudah tentang anak didiknya.

Dalam pentas itu, Yasudah juga menyuguhkan demonstrasi peralatan yang bukan alat musik seperti pipa pralon, seng dan bilahan besi. Suara yang dihasilkan pun memiliki keragaman intonasi, layaknya berselancar di dimensi lain. Pentas ditutup dengan permainan Embel-embel, rangkaian angklung yang dibentuk menyerupai ondel-ondel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya