SOLOPOS.COM - Pengunjung mengamati instalasi seni bertema Tanah, garapan seniman Uret Pari Ono, yang dipamerkan di Galeri Kepatihan Artspace, Selasa (1/10/2013) malam. (JIBI/Solopos/Mahardini Nur Afifah)

Solopos.com, SOLO–Untaian lirik dalam tembang macapat Maskumambang dipenggal tiap kata oleh seniman Uret Pari Ono. Setiap kata dari lirik yang meyiratkan kesedihan dan keprihatinan yang mendalam ini ditorehkan di atas cetakan tanah liat berbentuk balok yang belum kering sempurna.

Sisa tulisan dari Maskumambang yang nyaris tak terbaca ini tampak porak-poranda setelah dilemparkan ke tembok yang terletak di sebelah baratnya. Sementara sebagian cetakan tanah liat lain, masih tertata rapi bersanding dengan tumpukan material bangunan.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Cetakan tanah liat dan reruntuhan bangunan yang dipajang di Galeri Kepatihan Artspace, Selasa-Minggu (1-6/10) ini merupakan karya seni instalasi bertema Tanah. Karya yang dipersiapkan Uret bersama sejumlah perupa muda dari Kepatihan Artspace sejak tiga hari sebelumnya ini tak berdiri sendiri.

Seluruh bagian ruangan di ruang pamer galeri berukuran 6 m x 10 m,  termasuk tembok dan lantai, diekspolrasi menjadi media berkesenian bagi seniman yang pernah menjadi finalis Landsberger Strasse 80 Award Muenchener Bienale 2003 lalu di Jerman ini.

Tembok bercat putih di sebelah barat ruang pamer dimanfaatkan sebagai media respons bagi empat perupa dari Kepatihan Artspace antara lain Sonny, Cunong, Heri, dan Rofik, untuk merespon karya Tanah Uret Pari Ono dengan melakoni performance art pada pembukaan pameran, Selasa (2/10) malam. Bekas lemparan cetakan tanah liat basah meninggalkan noda amorfis di tembok sebelah barat ini.

Sementara di tembok sebelah selatan, Uret membuat karya yang menggambarkan tanah liat yang telah retak. Tembok sebelah timur pun digarap dengan konseptual. Uret membuat garis-garis horizontal secara repetitif. Di sudut bagian kanan bawah tembok yang dibiarkan ‘kosong’, tertera tulisan arab “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un”.

Tembok sebelah utara tampak paling mencolok dengan warna hitam. Di sana, tertera tulisan tangan  pengantar kuratorial dari Museum dan Tanah Liat Yogyakarta, yang ditulis Syalabi Arsya dengan kapur berwarna putih.

“Ada hal-hal yang tidak kita pahami. Tapi berpikir tentang itu akan memberikan keberanian. Seni dan tanah adalah hal yang tidak bisa cepat dipahami. Tapi tanah, waktu, dan ruang adalah materi yang telah kita ketahui. Ini adalah kehidupan,” tulis Syalabi Arsya.

Bagi Uret Pari Ono, tanah bukan sekadar tanah. Sesuatu yang oleh masyarakat urban telah lama dilupakan. Bagi seniman yang kini tinggal di Jogja ini, tanah yang selama ini telah memberikan penghidupan bagi tumbuhan, binatang, dan manusia sering diabaikan. Tanah juga bisa menjadi simbol awal mula orang berpijak. Di sisi lain tanah juga menjadi tempat kembali manusia.

“Karya ini mengajak pengunjung berbicara tentang keberadaan tanah yang belakangan ini sering diabaikan. Mungkin saat ini, hanya petani saja yang mau mengingatnya. Yang lainnya seolah lupa. Padahal kita hidup berutang budi pada tanah. Tanpa tanah, tanaman tidak tumbuh, binatang tidak makan, begitu juga dengan kita. Semestinya ada simbiosis di sana. Tapi lihat yang kita perbuat dengan tanah dan alam saat ini sudah membuat bumi yang kita pijak sedih,” kata Uret Pari Ono.

Uret yang 1991 silam sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Tata Rupa Pentas Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo, merasa pamerannya kali ini seperti ‘pulang’ ke tempatnya berasal selepas pengembaraannya menjajal berkesenian dari Jogja, Jerman, hingga ke Hongaria.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya