Entertainment
Senin, 29 Juni 2015 - 03:20 WIB

SENI PERTUNJUKKAN : Merayakan Masa Lalu Ala Teater Garasi

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah pemain Teater Gandrik mementaskan lakon "Tangis" naskah karya ditulis oleh (Alm) Heru Kesawa Murti yang dikembangkan oleh Agus Noor di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Yogyakarta, Rabu (11/02/2015) malam. Kisah berlatar belakang perusahaan batik itu mengemas tema aktual politik dan hukum yang berkembang saaat ini. Tangis juga akan dipentaskan selama dua hari (Rabu-Kamis, 11-12 Februari 2015) dan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, 20-21 Februari 2015. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Seni pertunjukkan dari Teater Garasi pentas selama dua hari di PKKH UGM.

Harianjogja.com, SLEMAN-Menutup proyek karya teater mereka, Teater Garasi mementaskan Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi (YFAWKA) di Aula PKKH UGM. Selama dua hari, Selasa-Rabu (23-24/6/2015) malam, cerita berdurasi sekitar 90 menit itu dipentaskan.

Advertisement

Tak jauh beda dengan dua pentas lainnya dalam proyek seni kolektif yang mereka rancang sejak 2008 silam, YFAWKA tetap menampilkan perpaduan antara seni teater, gerak dan kekuatan naskahnya.

Mengandalkan beberapa fragmen yang terjalin menjadi satu kesatuan utuh, pentas itu terlihat kuat dalam menampilkan potongan-potongan kisah yang saling menandai zaman, terutama pasca reformasi 1998.

Advertisement

Mengandalkan beberapa fragmen yang terjalin menjadi satu kesatuan utuh, pentas itu terlihat kuat dalam menampilkan potongan-potongan kisah yang saling menandai zaman, terutama pasca reformasi 1998.

Diawali dengan adegan gerak dari keenam aktornya, pementasan YFAWKA terkesan absurd. Namun, jika dilihat dari karakter gerak dari masing-masing aktor tersebut, terlihat jelas keenam aktor itu menampilkan tokoh dengan latar belakang penceritaannya masing-masing.

Barulah di fragmen berikutnya, gambaran naskah yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin itu mulai terkuak. Sebuah keluarga dengan lima orang anggota yang memiliki karakternya masing-masing menjadi pusat cerita.

Advertisement

Keluarga itulah yang kemudian menjadi pembuka cerita dalam naskah tersebut. Aneka karakter yang ditampilkan Yudi melalui tokoh-tokohnya itu seperti menggambarkan mozaik peristiwa yang menjadi cerita masa lalu dari masyarakat saat ini.

Adegan kekerasan, tangis, kekecewaan, hingga keceriaan ditampilkan Yudi dalam bentuk yang saling berkelindan. Alhasil, kontekstualitas pun terasa sangat kental dalam setiap fragmen yang ia tampilkan itu.

“Proyek ini memang sengaja kami rancang untuk membaca situasi yang terjadi, terutama setelah reformasi 1998,” kata Yudi seusai pentas.

Advertisement

Memang, di dua pentas sebelumnya, yakni Je-Jalan (2008) dan Tubuh Ketiga (2010), perpaduan gerak dan dialog menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun cerita. Sementara di YFAWKA, kekuatan itu kembali dirangkainya untuk lebih fokus dalam mengambil salah satu bagian dari rangkaian cerita dari kedua pentas tersebut. Dalam kata lain, meski masih dalam satu rangkaian proyek, namun YFAWKA seperti menampilkan bagian lain dari kedua naskah sebelumnya.

“Di YFAWKA, masyarakat sekarang yang seolah tak bisa melupakan peristiwa masa lalu yang sangat akrab dengan kekerasan,” imbuhnya.

Itulah sebabnya, Yudi memilih nukilan dari kalimat dalam puisi karya Sapardi Djoko Damono. Selain itu guna memperkuat naskahnya, ia dan beberapa penulis naskah lainnya mengutip beberapa nukilan naskah dari Macbeth karya William Shakespeare, The Future karya Leonard Cohen, dan lagu berjudul Wolf Song karya Imam Samudra.

Advertisement

Transformasi Tokoh
Dalam YFAWKA, Yudi sepertinya ingin menampilkan masa lalu yang penuh dengan kekerasan itu dalam bentuk fantastis. Dengan menggunakan tokoh Dipsy yang akrab bagi dunia anak-anak, Yudi ingin mengemas masa lalu itu dalam sebuah fantasi.

Tentu saja, ia tak menampilkan Dipsy dalam bentuk yang aslinya. Dengan mengganti simbol lubang yang ada di atas kepalanya, Yudi seperti ingin tetap menampilkan sosok Dipsy tersebut dalam bentuk yang lebih garang.
Bagaimanapun, Yudi tak ingin mencerabut begitu saja kekuatan naskahnya dengan kemunculan tokoh Dipsy tersebut. Sebaliknya, melalui kemunculan Dipsy, ia justru ingin memperkuat siratan makna dalam pentas tersebut.

“Itulah sebabnya, tokoh itu [Dipsy] akan selalu muncul dalam setiap fragmennya,” ucap Yudi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif