Entertainment
Rabu, 14 Agustus 2013 - 19:05 WIB

SENI TARI : Eko Pece Selami Budaya Suku Sahu Lewat Cry Jailolo

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Eko "Pece" Supriyanto (Dok/Solopos)

Eko “Pece” Supriyanto (Dok/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Tari kontemporer Cry Jailolo yang dipentaskan dalam ajang Dancing Across Border di Kuala Lumpur,  Malaysia, Juli lalu, menjadi magnet pertunjukan akbar tahunan seni tari internasional ini.

Advertisement

Tari garapan koreografer asal ISI Solo, Eko Supriyanto, mengundang decak kagum dan standing applause dari publik Malaysia dan seniman tari dari berbagai penjuru dunia.

Sukses mementaskan tari yang terinspirasi dari budaya Suku Sahu, Jailolo, Halmahera Barat, koreografer yang akrab disapa Eko Pece ini mulai bersiap mementaskan tarian ini ke sejumlah negara.

“Awalnya dulu saya diundang menari di Singapore Art Festival, dari sana saya dapat tawaran membawa Cry Jailolo ke Malaysia. Ternyata sambutannya luar biasa. Tahun depan tarian ini akan kami pentaskan ke Indonesian Dance Festival, Juni 2014 dan konferensi seni internasional di Hawaii, Agustus 2014,” kata Eko Pece ketika berbincang dengan Solopos.com, Minggu (4/8/2013) lalu.

Advertisement

Kreasi seni hasil yang lahir dari program residensi budaya Jailolo selama satu tahun ini, memiliki makna yang spesial bagi Eko Pece.

“Setiap proyek garapan saya memang memiliki kesan tersendiri. Dalam Cry Jailolo saya merasa terlibat secara pribadi cukup dalam karena sempat menyelami kehidupan budaya Suku Sahu,” bebernya.

Tak hanya belajar seni budaya masyarakat setempat, selama satu tahun tinggal di wilayah pesisir Indonesia Timur itu, peraih gelar master dari UCLA ini mengaku kagum dengan keseharian masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Advertisement

“Suku Sahu sangat menjaga ritual adat mereka yang selalu menghargai laut. Karena merasa tinggal di tepi laut, mereka selalu menjaga laut dan menjadikan budaya itu sebagai bagian dari ritual. Kontras sekali dengan ulah nelayan yang mengebom terumbu karang untuk berburu ikan dan pembukaan spot diving secara masif yang mempengaruhi alam bawah laut Jailolo,” katanya.

Eko Pece membeberkan Cry Jailolo dipentaskan empat pemuda lokal Suku Sahu. Dalam durasi satu jam, tarian ini mencoba mengkritik kondisi bawah laut Jailolo yang tak lagi mulai rusak. Empat penari ini digambarkan laiknya ikan yang sedang berenang menyusuri alam bawah laut Jailolo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif