SOLOPOS.COM - TEATER—Masih ada kesenjangan antara pementasan "teater tua" dengan "teater muda" (JIBI/Harian Jogja/dok)

TEATER—Masih ada kesenjangan antara pementasan "teater tua" dengan "teater muda" (JIBI/Harian Jogja/dok)

JOGJA—Kendati Jogja memiliki berbagai komunitas teater yang tersebar di lingkungan kampus, sekolah dan masyarakat, namun keberadaannya dinilai belum memberi warna dalam seni pertunjukkan teater.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Penyebabnya, penonton di Jogja pada kenyataannya lebih menyukai menonton teater yang dimainkan tokoh senior dibanding pemain baru.

Dosen Penyutradaraan dan Pemeranan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Rano Dumarno, mengakui ada kesenjangan antara komunitas teater senior dengan komunitas yang baru muncul.

Menurutnya, fenomena yang terjadi saat ini para penonton lebih menyukai pagelaran teater yang dimainkan komunitas teater senior.

“Sampai sejauh ini kalau yang mementaskan teater adalah kelompok yang senior seperti Gandrik, Garasi, dan Butet, orang akan berbondong-bondong untuk melihatnya. Tapi giliran yang bermain kelompok baru sepi peminat,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Rabu (25/4) saat ditemui di kantornya.

Menurut Rano, hal itu terjadi karena kelompok teater muda belum sanggup memberikan pagelaran teater yang berkualitas. Di satu sisi, kelompok teater senior pun tidak pernah melakukan transfomasi ilmu kepada komunitas baru, bagaimana caranya menghasilkan pementasan berkualitas.

“Saya melihat seniman tua asyik dengan dunianya sendiri. Entah apa karena memang tidak memiliki ruang untuk berdiskusi kepada yang muda atau ada alasan lain, saya tidak mengerti secara pasti,” tandasnya.

Dia mencontohkan di Bandung, meski komunitas teater di sana tidak sebanyak Jogja, tetapi secara kualitas komunitas teater muda dan tua sangat berimbang.

“Di sana [Bandung] jika dalam hari yang sama ada dua pertunjukkan teater yang dimainkan oleh kelompok muda dan tua, warga lebih malah memilih komunitas teater muda karena memang kualitas pertunjukkannya sepadan,” paparnya.

Rano berpendapat untuk mengatasi hal ini campur tangan Dinas Pariwiasata dan Kebudayaan untuk memberikan wadah kepada kelompok teater senior dengan kelompok muda, sangat penting.

“Pada akhirnya jika kelompok teater muda bisa mempunyai kualitas yang sepadan dengan kelompok senior, penonton akan semakin memiliki banyak pilihan. Secara tidak langsung menghidupkan dunia teater di Jogja di masa mendatanng,” ungkapnya.

Kurang berkualitasnya pertunjukkan teater yang dimainkan kelompok muda juga dirasakan Untung Basuki, seniman yang aktif dalam Sanggar Bambu.

“Sejak munculnya Bengkel Teater, Gandrik, Garasi, dan Teater Alam, saya merasa tidak ada komunitas baru yang menggigit,” katanya kepada Harian Jogja, belum lama ini.

Bahkan ia menilai pemahaman komunitas baru dalam memainkan pertunjukkan dinilai masih kurang. Untuk itu perlu ada campur tangan dari para senior.

“Belum lama ini saya pernah melihat pertunjukan teater yang dimainkan sejumlah pelajar. Mereka memainkan teater milik WS Rendra. Sayangnya, cerita yang dimainkan melenceng dari naskah yang ada. Ini membuktikan pemahaman mereka masih salah,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya