SOLOPOS.COM - Ilustrasi. Tim PHP2D kelompok Jurusan Film dan Televisi, ISI Solo bersama anak-anak muda Desa Karang dalam proses produksi film keluarga di Desa Karang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Sabtu (30/10/2021). (Solopos.com/Syifa Tri Hastuti)

Solopos.com, JAKARTA – Ternyata, film Indonesia ada yang pembuatannya menelan biaya jumbo. Hasil riset dari PwC Indonesia dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan sejumlah film Indonesia berbiaya produksi di atas USD4 juta atau setara Rp60 miliar.

Film yang masuk kategori film beranggaran besar ini seperti Buya Hamka (2023), Foxtrot Six (2019), Trilogi Merdeka (2011), The Raid 2: Berandal (2014) dan Gunung Emas Almayer (2014).

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

“Film lebih dari sekadar komoditas, pendanaan stabil diperlukan,” kata Kepala Riset dan Ekonomi PwC Indonesia Denny Irawan di Jakarta, Kamis (1/2/2024) malam.

Film beranggaran rendah biasanya merupakan produksi independen, dengan anggaran berkisar USD7.000 sampai USD66.000 atau Rp100 juta sampai Rp1 miliar.

Umumnya, biaya produksi film berkisar USD140.000 sampai USD1.600.000 atau Rp2 miliar sampai Rp25 miliar. Produser di Indonesia secara umum mengalokasikan 10 sampai 20 persen dari total anggaran untuk kegiatan pemasaran.

Di Indonesia, terdapat skema pendanaan dari pemerintah dalam bentuk subsidi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah meluncurkan skema hibah untuk mendukung produksi film nasional serta kegiatan promosi dan distribusi internasional melalui Dana Abadi Kebudayaan Indonesia.

Dana Abadi Kebudayaan Indonesia telah mengalokasikan USD10 juta sebagai dana pendamping one-to-one untuk mendukung proyek film produksi bersama.

Ada juga dana abadi pendidikan sebesar USD8 miliar atau Rp127 triliun untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan perfilman dan Dana Indonesiana yang didirikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dan Kementerian Keuangan senilai USD215 juta atau Rp3 triliun untuk peningkatan skala bisnis di industri layar.

Lalu riset juga menampilkan apa saja usaha yang diklasifikasikan sebagai industri layar. Klasifikasi baku lapangan usaha industri (KBLI) bisa dilihat dalam gambar tabel berikut:

Publikasi penelitian yang dilakukan PwC Indonesia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis (1/2/2024) malam. ANTARA/Abdu Faisal

????Denny menyampaikan bahwa ketiadaan definisi tunggal yang diterima secara universal selama ini di Indonesia tentang “industri layar” menyebabkan keterbatasan dalam klasifikasi dan analisis usaha industri tersebut.

Kondisi itu juga menghadirkan tantangan bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan untuk industri tersebut. Sehingga kajian literatur dan perbandingan dari berbagai negara perlu ditetapkan untuk menjaga fokus penelitian yang dilakukan PwC Indonesia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Penelitian yang bertajuk “Dampak Ekonomi Industri Layar di Indonesia-Sebuah Peluang” itu pun menunjukkan KBLI dalam dua lampiran halaman 36 sampai 40.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya